Waktu senja selalu indah mempesona. Langit merah berangsur semakin gelap. Angin berhembus lembut, memberi hawa kesejukan bagi manusia setelah seharian didera teriknya matahari. Samar-samar, terdengar suara burung-burung yang akan kembali ke sarangnya. Sang Surya yang sejak sore bersinar kuning keemasan pun beredar di manzilahnya. Dengan anggun, ia menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Sungguh menakjubkan fenomena alam ini. Keindahan ayat-ayat kauni yang seharusnya membuat kita semakin menyadari betapa kecilnya kita bila dibandingkan dengan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Subhanallah wa bi hamdih…
Tetapi, senja di bulan Ramadhan selalu mempunyai arti khusus dan istimewa. Bukan hanya karena keindahannya. Tetapi karena di waktu senja, di kala matahari telah tenggelam, maka tibalah waktunya bagi hamba-hamba Allah untuk berbuka puasa.
Waktu Berbuka Puasa, Waktu untuk Berbahagia
Waktu Berbuka Puasa, Waktu untuk Berbahagia
Saudariku, lihatlah wajah bahagia hamba-hamba Allah yang berpuasa, di kala waktu berbuka puasa telah tiba. Ya, mereka memang patut berbahagia. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berbuka puasa mempunyai dua kebahagiaan yang bisa ia rasakan; kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya karena puasa yang dilakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan di dalam kitab Majaalisu Syahri Ramadhaan, ‘Kebahagiaan ketika berbuka maksudnya adalah karena ia merasa senang atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu bisa melaksanakan puasa yang merupakan salah satu bentuk amal shalih yang paling utama. Betapa banyak manusia yang tidak memperoleh nikmat tersebut sehingga mereka tidak berpuasa. Ia juga merasa senang atas makanan, minuman dan jima’ yang kembali dihalalkan Allah baginya, setelah sebelumnya diharamkan pada saat berpuasa.
Adapun kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya adalah ia senang dengan ibadah puasanya ketika ia mendapat balasannya di sisi Allah secara utuh pada saat ia jauh membutuhkannya, ketika dikatakan, “Di mana orang-orang yang berpuasa?” Mereka pun dipersilahkan masuk ke pintu surga dari pintu ar-Rayyan yang tidak akan dimasuki oleh seorang pun selain mereka.”
Sunnah ketika Berbuka Puasa
Saudariku, hendaknya di saat berbuka puasa kita melakukan sunnah-sunnah yang berkaitannya dengannya. Agar buka puasa yang kita lakukan juga mendatangkan pahala. Bukan sekedar berbahagia karena dapat menikmati makan dan minum kembali. Sunnah ketika berbuka puasa, antara lain:
1. Bersegeralah berbuka puasa!
Tahukah engkau kapan waktu berbuka puasa? Yaitu ketika sudah dipastikan matahari telah tenggelam, baik dengan menyaksikannya secara langsung atau berdasarkan informasi dari orang yang terpercaya melalui pengumandangan adzan Maghrib atau hal lainnya. (Lihat Majaalisu Syahri Ramadhaan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
Tahukah engkau kapan waktu berbuka puasa? Yaitu ketika sudah dipastikan matahari telah tenggelam, baik dengan menyaksikannya secara langsung atau berdasarkan informasi dari orang yang terpercaya melalui pengumandangan adzan Maghrib atau hal lainnya. (Lihat Majaalisu Syahri Ramadhaan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
Dan ketika waktu berbuka telah tiba, maka bersegeralah berbuka puasa. Sebagaimana hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Orang-orang (umat Islam) senatiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Maghrib hingga berbuka puasa kendati hanya dengan seteguk air.” (HR. Tirmidzi. Hadits Hasan)
2. Makan kurma atau seadanya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits Hasan Shahih)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits Hasan Shahih)
Hendaknya berbuka puasa dengan kurma masak atau kering, dengan jumlah yang ganjil. Misalnya tiga, lima atau tujuh. Adapun jika tidak ada, maka berbuka puasa hanya dengan air pun tak mengapa.
3. Setelah berbuka, jangan lupa panjatkan doa (yang shahih).
Saudariku, hendaknya kita manfaatkan waktu berbuka untuk memperbanyak doa. Karena berdoa pada waktu berbuka puasa adalah salah satu waktu di mana doa yang dipanjatkan dijanjikan akan dikabulkan Allah (HR. Ibnu Majah).
Saudariku, hendaknya kita manfaatkan waktu berbuka untuk memperbanyak doa. Karena berdoa pada waktu berbuka puasa adalah salah satu waktu di mana doa yang dipanjatkan dijanjikan akan dikabulkan Allah (HR. Ibnu Majah).
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berbuka puasa, beliau biasa berdoa dengan, “Dzahaba zh- zhama-u wabtallatil ‘uruuqu, wa tsabatal ajru insyaa Allah.”
Artinya: “Telah hilang rasa haus dahaga, dan urat-urat telah basah, dan pahala akan kita peroleh, insyaa Allah.” (HR. Abu Daud (II/306) [no.2357] dan yang lainnya. Lihat Shahihul Jami’ (IV/209) [no.4678])
Doa ini biasa dibaca Rasulullah setelah beliau berbuka puasa sebagaimana maksud perkataan Abdullah bin Umar, “Apabila beliau telah berbuka puasa.”
Adapun sabda Rasulullah, “Dzahaba zh-zhama-u” artinya adalah haus.
Kemudian, “wabtallatil ‘uruuqu” artinya adalah dengan hilangnya kekeringan pada urat-urat akibat dari rasa dahaga. Sedangkan ” wa tsabatal ajru” artinya adalah rasa lelah telah hilang berganti dengan pahala. Hilangnya rasa lelah akan mendorong untuk melakukan ibadah. Sementara pahala sangat banyak dan abadi.
Adapun sabda Rasulullah, “Dzahaba zh-zhama-u” artinya adalah haus.
Kemudian, “wabtallatil ‘uruuqu” artinya adalah dengan hilangnya kekeringan pada urat-urat akibat dari rasa dahaga. Sedangkan ” wa tsabatal ajru” artinya adalah rasa lelah telah hilang berganti dengan pahala. Hilangnya rasa lelah akan mendorong untuk melakukan ibadah. Sementara pahala sangat banyak dan abadi.
Ath-Thibi rahimahullah menjelaskan, “Beliau menyebutkan ketetapan pahala yang akan diperoleh setelah mengalami kelelahan itu adalah dengan harapan akan mendapat kenikmatan yang berlimpah.”
Adapun “insyaa Allah” berkaitan dengan pahala yang setiap orang tidak dapat memastikannya. Sebab ketetapan pahala itu adalah di bawah kehendak Allah.
Selain doa di atas, bisa pula berdoa dengan:
“Allahumma inni as-aluka bi rohmatika allati wasi’at kulla syaiin in taghfirolii”
“Allahumma inni as-aluka bi rohmatika allati wasi’at kulla syaiin in taghfirolii”
Artinya: “Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, supaya memberi ampunan atasku.” (HR. Ibnu Majah 1/557. Hadits ini hasan menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Takhrij Al-Adzkar, lihat Syarah Al-Adzkar 4/342)
Majdi bin ‘Abdul Wahhab Al-Ahmad di dalam Syarah Hishnul Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah, ‘bi rohmatika allati wasi’at kulla syaiin’ adalah rahmat-Mu yang maha luas di seluruh persada ini dan setiap bagian hanya dengan rahmat-Mu.
Saudariku, dari kecil hingga besar, kita diajarkan berdoa setelah berbuka buka puasa dengan beberapa lafadz berikut ini,
Pertama,
“Bismillah wal hamdulillah. Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu wa ‘alaika tawakkaltu subhaanaka wa bi hamdika taqabbal minni, innaka Antas Samii’ul ‘Aliim ”
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan segala puji milik Allah. Ya Allah, hanya karena-Mu aku berpuasa, hanya dengan rizki-Mu aku berbuka dan hanya kepada-Mu aku bertawakkal. Maha Suci Engkau dan pujian kepada-Mu, terimalah amalanku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
Pertama,
“Bismillah wal hamdulillah. Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu wa ‘alaika tawakkaltu subhaanaka wa bi hamdika taqabbal minni, innaka Antas Samii’ul ‘Aliim ”
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan segala puji milik Allah. Ya Allah, hanya karena-Mu aku berpuasa, hanya dengan rizki-Mu aku berbuka dan hanya kepada-Mu aku bertawakkal. Maha Suci Engkau dan pujian kepada-Mu, terimalah amalanku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
Ternyata Syaikh Nashiruddin Al Albani berpendapat bahwa hadits ini munkar jiddan. Setelah membawakan sanad hadits ini beliau mengatakan bahwa sanadnya lemah. (lihat Silsilatul Ahaditsidh Dhaifah wal Maudhu’ah, no 6996).
Kedua,
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan, ‘Allahumma Laka Shumna wa ‘ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Sami’ul ‘Alim’”
Artinya: “Ya Allah! Untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizqi-Mu kami berbuka. Ya Allah! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya ‘Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan, ‘Allahumma Laka Shumna wa ‘ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Sami’ul ‘Alim’”
Artinya: “Ya Allah! Untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizqi-Mu kami berbuka. Ya Allah! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya ‘Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir)
Ternyata hadits ini sanadnya sangat lemah (dhaif). Karena ada seorang rawi yang bernama Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah. Dia adalah rawi yang sangat lemah. Dan di sanad hadits ini juga ada ayah Abdul Malik yaitu Harun bin Antarah. Dia adalah rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Nashiruddin Al-Albani.
Ketiga,
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan, ‘Bismillah. Allahumma Laka Shumtu wa ‘ala Rizqika Afthartu’”
Artinya: “Dengan nama Allah. Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan atas rizki dari-Mu aku berbuka.”
(HR. Thabrani di kitabnya Mu’jam Shagir hal 169 dan Mu’jam Auwsath)
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan, ‘Bismillah. Allahumma Laka Shumtu wa ‘ala Rizqika Afthartu’”
Artinya: “Dengan nama Allah. Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan atas rizki dari-Mu aku berbuka.”
(HR. Thabrani di kitabnya Mu’jam Shagir hal 169 dan Mu’jam Auwsath)
Sanad hadits ini lemah (dhaif). Karena di sanad hadits ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly yang merupakan rawi yang lemah. Juga ada Dawud bin Az-Ziriqaan yang merupakan rawi yang matruk menurut Imam Abu Dawud, Abu Zur’ah dan Ibnu Hajar.
Keempat,
Dari Mu’adz bin Zuhrah bahwasanya telah sampai kepadanya, “Sesungguhnya Nabi apabila berbuka puasa beliau mengucapkan ‘ Allahumma Laka Shumtu wa ‘ala Rizqika Afthartu’ ”
Artinya: “Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan atas rizki dari-Mu aku berbuka.”
(HR. Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni)
Dari Mu’adz bin Zuhrah bahwasanya telah sampai kepadanya, “Sesungguhnya Nabi apabila berbuka puasa beliau mengucapkan ‘ Allahumma Laka Shumtu wa ‘ala Rizqika Afthartu’ ”
Artinya: “Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan atas rizki dari-Mu aku berbuka.”
(HR. Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni)
Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit. Yang pertama, mursal karena Mu’adz bin (Abi) Zuhrah adalah seorang Tabi’in, bukan shahabat Nabi. Kedua, Mu’adz bin (Abi) Zuhrah adalah seorang rawi yang majhul. Tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedangkan Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta’dil tidak menerangkan pujian maupun celaan baginya.
Kesalahan-kesalahan Seputar Berbuka Puasa
1. Tidak menyegerakan berbuka puasa, padahal waktunya telah tiba.
1. Tidak menyegerakan berbuka puasa, padahal waktunya telah tiba.
2. Menanti waktuberbuka puasa dengan kegiatan yang sia-sia, bahkan melanggar syariat.
Ngabuburit. Inilah istilah yang sekarang umum digunakan untuk menggambarkan kegiatan di saat menanti waktu berbuka puasa. Mulai dari sekedar nongkrong, berkumpul bersama teman-teman, jalan-jalan, berburu makanan untuk berbuka, dll. Ngabuburit bahkan sudah dikemas menjadi acara-acara khusus yang diisi berbagai macam kegiatan. Jika isi kegiatan adalah hal positif yang tidak melanggar syariat, tentunya tak mengapa. Tapi, kebanyakanngabuburit yang dilakukan orang-orang sekarang banyak mengandung hal yang sia-sia atau bahkan melanggar syariat.
Misalnya: ikhtilat (bahkan dijadikan ajang pacaran), hiburan dengan musik, nongkrong dan “cuci mata”, ngobrol dan bercanda berlebihan, dll.
Ngabuburit. Inilah istilah yang sekarang umum digunakan untuk menggambarkan kegiatan di saat menanti waktu berbuka puasa. Mulai dari sekedar nongkrong, berkumpul bersama teman-teman, jalan-jalan, berburu makanan untuk berbuka, dll. Ngabuburit bahkan sudah dikemas menjadi acara-acara khusus yang diisi berbagai macam kegiatan. Jika isi kegiatan adalah hal positif yang tidak melanggar syariat, tentunya tak mengapa. Tapi, kebanyakanngabuburit yang dilakukan orang-orang sekarang banyak mengandung hal yang sia-sia atau bahkan melanggar syariat.
Misalnya: ikhtilat (bahkan dijadikan ajang pacaran), hiburan dengan musik, nongkrong dan “cuci mata”, ngobrol dan bercanda berlebihan, dll.
Saudariku, bukankah sebelum berbuka itu berarti kita masih dalam keadaan berpuasa? Ingatlah bahwa puasa tidak akan sempurna, bahkan akan menjadi sia-sia jika kita tidak menjaga diri dari kemaksiatan dan hal yang sia-sia. Misalnya: menundukkan pandangan serta menahannya dari pandangan-pandangan liar, menjaga lisan, menjaga pendengaran dari mendengarkan setiap yang haram atau yang tercela, menjaga anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa, dll.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang terlarang, maka Allah tidak butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
“Puasa bukanlah dari makan, minum semata, tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim)
3. Makan dan Minum dengan Berlebihan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berbuka puasa dengan makanan yang sederhana. Seadanya saja. Tidak berlebihan-lebihan, atau bahkan sampai memaksakan diri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berbuka puasa dengan makanan yang sederhana. Seadanya saja. Tidak berlebihan-lebihan, atau bahkan sampai memaksakan diri.
Memang, adakala tidak mengapa menghadirkan hidangan istimewa di kala berbuka. Apalagi bila hal itu dilakukan untuk membahagiakan keluarga atau agar anak-anak lebih bersemangat untuk berpuasa. Akan tetapi, hendaknya hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Ingatlah! Bahwa salah satu hikmah berpuasa adalah agar kita turut merasakan kesusahan yang dialami fakir miskin. Maka, kita juga perlu mendidik anak-anak kita untuk memupuk jiwa sosial mereka. Tidak hanya saat kita berpuasa, tetapi juga saat berbuka puasa.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak Menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-A’raf: 31)
Saat berbuka juga bukan berarti waktunya ‘balas dendam’. Semua dimakan sampai kekenyangan. Ingatlah, perut yang kenyang akan membuat malas ibadah.
4. Melalaikan adab makan.
Saudariku, bersegera untuk berbuka puasa bukan berarti boleh lalai berdoa sebelum makan. Bukan berarti boleh makan dan minum dengan tergesa-gesa. Saat kita berbuka puasa, berusahalah untuk tetap menjaga adab dan sunnah dalam makan dan minum. Seperti berdoa, duduk ketika makan-minum, tidak meniup makanan, dll.
Saudariku, bersegera untuk berbuka puasa bukan berarti boleh lalai berdoa sebelum makan. Bukan berarti boleh makan dan minum dengan tergesa-gesa. Saat kita berbuka puasa, berusahalah untuk tetap menjaga adab dan sunnah dalam makan dan minum. Seperti berdoa, duduk ketika makan-minum, tidak meniup makanan, dll.
5. Melalaikan shalat maghrib.
6. Mengisi acara berbuka dengan maksiat.
Makan bersama (makan berjama’ah) memang merupakan bagian dari sunnah Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” (HR. Abu Dawud. Hasan)
6. Mengisi acara berbuka dengan maksiat.
Makan bersama (makan berjama’ah) memang merupakan bagian dari sunnah Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” (HR. Abu Dawud. Hasan)
Akan tetapi, kita harus tetap berusaha membingkai acara buka bersama tersebut dalam bingkai syariat. Sebagaimana ngabuburit, acara buka bersama yang banyak dilakukan sekarang ini banyak berisi kemaksiatan dan penyimpangan. Misalnya ikhtilat, pacaran, musik, makanan yang berlebihan, sampai dengan melalaikan waktu shalat Maghrib.
Apakah Setelah Berbuka Puasa Kita Bebas Berbuat Apa Saja?
Saudariku, sesungguhnya seorang hamba yang shalih, saat ia telah selesai melakukan suatu ibadah maka ia berusaha menyelimuti hatinya dengan rasa takut dan harap. Sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima, sehingga ia termasuk orang-orang yang dekat kepada Allah, ataukah ditolak, sehingga ia termasuk orang-orang yang dimurkai. Hal yang sama hendaknya ia lakukan pada setiap selesai berpuasa.
Kita harus menjaga diri dari perbuatan sia-sia dan dosa di saat kita berpuasa. Tapi bukan berarti setelah waktu berbuka puasa kita menjadi bebas. Perbuatan haram, tetap haram hukumnya baik ketika kita sedang berpuasa ataukah tidak. Maka, di malam bulan Ramadhan pun kita tetap harus menjaga diri dari perbuatan dosa. Ingatlah bahwa keutamaan bulan Ramadhan tidak hanya terbatas di siang harinya, ketika kita berpuasa. Tetapi juga meliputi malam harinya. Banyak sekali ibadah yang bisa dilakukan di malam hari ketika bulan Ramadhan. Bahkan, ada keutamaan Lailatul Qadr yang harus kita kejar. Sibukkan diri dalam beribadah, baik siang maupun malam. Agar Ramadhan yang kita jalani benar-benar menjadikan kita manusia yang lebih bertaqwa.
Agar Kita Benar-Benar Mendapat Kebahagiaan
Saudariku, sesungguhnya keutamaan puasa tidak bisa diraih sehingga orang yang berpuasa benar-benar menjaga adab-adab berpuasa. Dan hanya orang-orang itu pula yang berhak untuk mendapat dua kebahagiaan ketika berbuka puasa.
Saudariku, sesungguhnya keutamaan puasa tidak bisa diraih sehingga orang yang berpuasa benar-benar menjaga adab-adab berpuasa. Dan hanya orang-orang itu pula yang berhak untuk mendapat dua kebahagiaan ketika berbuka puasa.
Kita memohon kepada Allah agar menerima puasa Ramadhan kita dan menjadikannya sebagai pemberi syafa’at bagi kita. Agar kita termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang mendapat pahala puasa yang sempurna. Dan kita memohon agar Allah Mengampuni dosa-dosa kita dan Memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bisa memasuki surga-Nya melalui pintu Ar-Rayyan. Amiin.
Maraaji’:
- Majaalisu Syahri Ramadhaan (Terj.), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
- Majalah As Sunnah edisi 06/X/1427H/2006M halaman 78
- Majalah Nikah Vol. 4, No. 5, Agustus 2005/ Jumadil Tsaniyah-Rajab 1426 H
- Minhajul Muslim (Terj.), Abu Bakr Jabir Al-Jazairi
- Syarah Hishnul Muslim (Terj.), Majdi bin ‘Abdul Wahhab Al-Ahmad, Penerbit Al Qowam
Keterangan:
Munkar jiddan: hadits yang sanadnya dhaif dan sangat bertentangan dengan hadits lain dengan riwayat yang shahih. Hukumnya tertolak.
Rawi yang Matruk: rawi yang ditinggalkan riwayatnya
Hadits Mursal: seorang Tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa perantara sahabat. Hukumnya tertolak.
Rawi yang Majhul: rawi yang tidak dikenal. Artinya tidak ada yang menganggapnya cacat dan tidak ada pula yang menganggapnya adil, dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.
Jarh wa Ta’dil: sebuah kitab yang ditulis ahli hadits, yang berisi cacat (jarh) dan penilaian adil (ta’dil) terhadap para rawi hadits
Munkar jiddan: hadits yang sanadnya dhaif dan sangat bertentangan dengan hadits lain dengan riwayat yang shahih. Hukumnya tertolak.
Rawi yang Matruk: rawi yang ditinggalkan riwayatnya
Hadits Mursal: seorang Tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa perantara sahabat. Hukumnya tertolak.
Rawi yang Majhul: rawi yang tidak dikenal. Artinya tidak ada yang menganggapnya cacat dan tidak ada pula yang menganggapnya adil, dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.
Jarh wa Ta’dil: sebuah kitab yang ditulis ahli hadits, yang berisi cacat (jarh) dan penilaian adil (ta’dil) terhadap para rawi hadits
Komentar
Posting Komentar